Senin, 08 Desember 2014

JANGANLAH KITA MENCELA MAKANAN ..

Dari Abu Hurairah r.a beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mencela makanan adalah ketika seseorang menikmati hidangan yang disajikan lalu ia mengomentari makanan tersebut dengan mengucapkan terlalu asin, kurang asin, lembek, terlalu keras, tidak matang dan lain sebagainya.
Hikmah dari larangan ini adalah: karena makanan adalah ciptaan Allah sehingga tidak boleh dicela. Disamping itu, mencela makanan menyebabkan orang yang membuat dan menyajikannya menjadi kecil hati , atau tersinggung . Ia sudah berusaha menyiapkan hidangan dengan sebaik mungkin, namun ternyata hanya mendapatkan celaan.
Syekh Muhammad Sholeh al-Utsaimin mengatakan,
“Tha’am (yang sering diartikan dengan makanan) adalah segala sesuatu yang dinikmati rasanya, baik berupa makanan ataupun minuman. Sepantasnya jika kita diberi suguhan berupa makanan hendaknya kita menyadari betapa besar nikmat yang telah Allah berikan dengan mempermudah kita untuk mendapatkannya, bersyukur kepada Allah karena mendapatkan nikmat tersebut dan tidak mencelanya. Jika makanan tersebut enak dan terasa menggiurkan, maka hendaklah kita makan.
Namun jika tidak demikian, maka tidak perlu kita makan dan kita tidak perlu mencelanya.

Berhati Burung (Tawakal)

Mencari rezeki merupakan keniscayaan bagi makhluk yang bernyawa. Allah SWT telah menyediakan bermacam sarana agar rezeki itu mudah didapatkan. Rezeki bahkan tidak hanya disediakan bagi orang yang beriman, tetapi juga untuk mereka yang tak beriman. Khusus bagi hamba yang beriman, Allah mengingatkan bahwa mencari bagian duniawi tidak boleh dilupakan, meskipun keukhrawian harus lebih diprioritaskan.

Dalam mencari rezeki, seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk serius dalam bekerja, tetapi juga diajarkan untuk memiliki energi ketawakalan dalam semua aktivitasnya. Tawakal sering kali dipahami sebagai kepasrahan total kepada Allah, yang seolah menafikan usaha. Padahal, ketawakalan sejatinya merupakan sifat hati sebagai bagian keyakinan seorang mukmin bahwa rezekinya sudah ada yang mengatur.

Sikap tawakal akan membuat seseorang tidak ngoyo dan mabuk harta dalam mencari rezeki. Ketawakalan juga yang membuat seseorang menyadari bahwa bila rezekinya susah didapat, berarti Allah sedang menyiapkan takdir lain yang lebih baik untuknya.

Namun, bila rezeki itu dimudahkan, kemudahan itu diyakininya atas anugerah Allah, sehingga dia bersyukur atas karunia itu, bukan malah kufur. Sebab, salah satu ciri tawakal adalah kesiapan jiwa dalam menerima seberapa pun rezeki yang didapat, apakah itu sedikit ataupun banyak.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar seorang mukmin memiliki sikap ketawakalan seperti yang dipunyai seekor burung. “Andai kata kalian benar-benar bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, yaitu keluar dengan perut kosong di pagi hari dan kembali dengan perut kenyang di sore hari.” (HR Tirmidzi).

Nabi juga menjadikan “berhati burung” sebagai salah satu syarat untuk bisa masuk surga. “Akan masuk surga orang-orang yang berhati seperti burung.” (HR Muslim).

Pemilihan burung sebagai tamsil pada kedua hadis tersebut, tentu bukan tanpa alasan. Ternyata, berdasarkan penelitian para ahli, untuk mendapatkan rezekinya hewan ini diketahui harus melakukan migrasi hingga ribuan mil.

Namun, semua itu dilakukan dengan efektif dan efisien. Hewan ini mampu mengalkulasi berapa energi yang diperlukan, bagaimana melakukan penerbangan yang aman, berapa jarak tempuh dan jumlah bahan bakar yang harus disediakan, juga bagaimana kondisi cuaca di udara. Ia yakin hari itu pasti ada rezeki untuknya, meskipun harus dicari hingga ke tempat yang sangat jauh. Setelah mendapatkannya, ia pun tidak lupa untuk kembali ke sarangnya.

“Saat kamu bertekad (melakukan sesuatu) maka bertawakallah pada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 159). Allah SWT pula yang menjamin rezeki orang yang bertawakal. “Orang yang bertawakal kepada Allah akan dicukupkan rezekinya.” (QS Al-Thalaq [65]: 3).

Selaras dengan perintah Allah itu, Nabi diketahui mempraktikkan ketawakalan dalam kehidupan sehari-harinya. Nabi SAW bekerja, lantaran bekerja merupakan sunahnya.

NB : Tulisan ini mebuat saya menjadi lebih optimis.. bismillah..

sumber : republika.co.id, Oleh Moch Syarif Hidayatullah

Rabu, 01 Januari 2014

Menanti Jawab-Nya Jilid 3 (Khuznuzon kepada Allah)


Khusnuzon kepada Allah 

Ya, saya berusaha khusnuzon kepada Allah. apapun yang terjadi. Jujur saya menanti jawaban atas doa2 saya atas masalah ini yang memang belum Allah kendaki bahkan ada yang tak di'acc. Lantas apakah terus berhenti berdoa dan endingnya mengeluh?? karena doa yang tak di acc sedang masalah bertubi tubi dikucurkan?? Astagfirllah.. Mohon ampun lagi. Jangan sampai mengeluh (Pelajaran Jilid 2). Orang mau naik kelas pakai tes/ Ujian dulu. Begitu juga dengan hidup, Allah mau menaikkan level derajat hidup manusia ya pakai ujian. Tertanam dalam diri saya, doa itu pasti terkabul. Cuma cara Allah mengabulkan itu diatur sedemikian rupa untuk kebaikan kita. Bukan doa kita tidak dikabulkan (BUKAN!!) tapi Allah memiliki rencana lebih indah dari pada rencana kita.

Menanti Jawab-Nya Jilid 2 (Bersyukur)

Bersyukurrrr !!
Saya mencoba melihat sekeliling saya. Sangat kufur nikmat sekali jika saya mengeluh akan semua yang telah Allah berikan kepada saya. termasuk musibah garing masalah. Janji yang menguatkan saya untuk bersyukur salah satunya dalam Surat ke 55 -- Surat Ar-Rahman. Dalam surat tersebut berkali kali difirmankan yang berarti "Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustaka?". Saya bukan ahli tafsir. Tapi saya sangat merasakan ayat tersebut diulang berkali kali pasti dasyat arti, maksud dan manfaatnya. Nikmat mana yang akan saya dustakan? Musibah / masalahpun juga nikmat jika saya jalani dengan ikhlas. Saya harus bersyukur. 

Menanti Jawab-Nya Jilid 1


Tepuruk.......
Ya saya sedang merasa seperti itu.....
Beberapa hal harus saya ikhlaskan. Berat awalnya. Tapi saya belajar dan terus belajar untuk mengikhlaskan semua. Mulut saya pun menjadi bisu membeku. Ya begitu yang saya rasakan saat ini. Sedang merasa sendiri di dunia ini..? iya ini juga sedang saya rasakan. Saya semakin menjadi intovert.. semakin intovert. Tertutup dan tertutup, diam dan diam. Pernahkah anda merasakan dimana anda menjadi sangat enggan untuk berbagi sharing2 kepada orang di sekitar anda tentang masalah yang  anda hadapi?? Saat ini saya juga sedang merasakan hal itu. Bahkan kepada kelurga sendiri. Saya mencoba menyimpan masalah ini sendiri. Terlalu sayang saya membebani pikiran orang-orang yang saya sayang dengan apa yang saya hadapi. Keluarga? sahabat? dan teman2? really i love you all. apakah saya sedang merasakan stres?? inikah yang dinamakan stres?? hentahlah.. may be yes may be no..